Butuh Dua Interpreter untuk Bahasa Indonesia dan Isyarat
Dengan kekurangan yang dimiliki, para penyandang tunarungu atau sahabat tuli yang beragam Islam tetap rutin menjalankan kewajiban. Terlebih lagi dalam hal beribadah para Allah SWT. Meskipun terkendala sarana komunikasi, semangat mereka patut untuk diteladani.( LINTANG ANIS BENA K, Jember)
USTAD Agus Rohmawan berdiri di hadapan sekitar 30 pria dan wanita. Dengan perlahan, dia menunjukkan gerakan ruku.'I'tidal, dan sujud.Di sampingnya terdapat dua orang yang mengartikan setiap ucapan dan sikap Agus kepada serombongan 'jamaah' yang sejak tadi memperhatikannya.
Mereka buka jamaah biasa, yang tengah mempelajari ilmu agama Islam. Tetapi, sekelompok orang tersebut adalah para penyandang tuna rungu yang sengaja datang untuk mengikuti kegiatan Pelatihan Salat untuk Sahabat Tuli, yang digelar oleh Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Jember Minggu (19/6) lalu, di mushola PTPN XII Jember.
Kebanyakan dari penyandang dari berbagai daerah di pelosok Jember. Seperti Tanggul, Sumberbaru, Puger, Gumukmas, hingga Balung.
Tersulit adalah Menyampaikan Bahasa Arab Dengan Isyarat Tangan
Seluruh peserta tampak khusuk memperhatikan gerakan rukun salat yang benar.Butuh upaya ekstra dalam memberikan pelatihan beribadah kepada penyandang tuna rungu ini. Atau, seperti kata mereka, sahabat tuli."Mereka tidak terlalu senang jika dijuluki penyandang tunarungu, lebih suka disebut sebagai tuli. Karena itu kami memberikan sebutan Sahabat Tuli," ujar Ustad Agus Rohmawan, pemateri latihan tersebut.
Menurutnya, ini kali pertama kegiatan semacam ini diadakan khususnya di Jember. Gagasan ini berawal ketika pada penyelenggaraan Majelis Alquran yang menajadi agenda rutin Ikadi Jember beberapa waktu lalu turut dihadiri para sahabat tuli dari berbagai daerah di pelosok Jember.
Dari sana, pria yang juga menjadi salah satu pengurus pondok pesantren Ibnu Katsir Jember ini menyadari bahwa perlu adanya pelatihan khusus mengenai gerakan dan bacaan salat lima waktu kepada para sahabat tuli. Ini tentu bukan upaya mudah, mengingat sebagian besar dari mereka sama sekali tidak bisa mendengar.
"Melatih gerakan salat pada tuna runggu jauh lebih sulit dari melatih tunanetra. Penyandang tunanetra banyak yang sudah mempelajari bacaan Alquran, bahkan menjadi penghafal Al-quran, sebab mereka masih bisa mendengar dan memahami bacaannya. Tetapi untuk mengajari sahabat tuli membutuhkan usia lebih keras lagi," tuturnya.
Salah satu materi yang cukup sulit di ajarkan adalah menyampaikan bahasa Arab dalam bentuk istirahat tangan. Para sahabat tuli memang banya menggunakan bahasa isyarat tangan untuk berkomunikasi satu sama lain atau pun dengan orang lain. "Untuk mengajari para sahabat tuli, ada dua interprenter yang bertugas menerjemahkan setiap kata yang saya sampaikan," lanjut Agus.
Kedua penerjemahan tersebut memiliki yugas yang berbeda. Yaitu Ahmad Hariri, yang menerjemahkan bacaan Alquran, serta Rendi, yang menerjemahkan bahasa Indonesia menjadi isyarat tangan. "Ini merupakan salah satu tantangan, karena selama ini masih sangat jatrang ustad yang bersedia mendampingi para sahabat tuli untuk salat dan mengaji," katanya.
Dengan perlahan dan sistematis, Agus berusaha menerangkan setiap arti dan gerakan salat yang harus dilakukan demi keabsahan ibadah mereka. Sebisa mungkin dia menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik pada sahabat tuli maupun pada penerjemah.
Sebagai langkah awal, Agus hanya mengajarkan sebatas gerakan salat saja. Sebab butuh pendalaman latihan yang lebih jauh untuk mengajarkan bacaan dan tajwid pada parta sahabat tuli. "Butuh waktu yang lebih lama, tak cukup hanya sehari," akunya.
Pada dasarnya, kata dia, Islam sama sekali tidak membebani manusia untuk melakukan ibadah apapun. Allah telah memberikan banyak kemudahan bagi mereka yang tak bisa beribadah dengan normal, dan menerima apapun bentuk ibadah yang dilakukan kaum difabel."Pemahaman ini yang kita tanamkan sebagai motivasi mereka untuk beribadah.Tak sedikit dari para sahabat tuli yang terharu bahkan menangis mendengarnya," kata Agus.
Hanya saja, pihaknya terkendala jumlah sumberdaya pelatih yang sangat terbatas. Belum adanya pengembangan latihan bahasa isyarat menjadi salah satu penyebabnya." Terutama untuk ustad dan takmir,"imbuh Agus.
Salah satu contoh paling sederhana adalah ketika salat Jumat. Sejatinya kaum difabel khususnya tuna rungu tentu juga ikut mendatangi masjid dan mengikuti salat Jumat, tetapi tidak paham isi khotbah yang disampaikan."Jika dimungkinkan, harus ada iterpreter bahasa isyarat bagi penyandang tuna rungu melek teknologi, yang memungkinkan mereka mencari sarana penerjemah mandiri,"tegasnya.
Ke depan, pihaknya berencana menjadikan agenda ini sebagai kegiatan rutin yang akan dilaksanakan setiap bulannya. Tidak hanya gerakan salat, tetapi juga bacaannya."Ini juga termasuk mengajarkan para ustad muda untuk belajar bahasa isyarat, agar mereka bisa mengajarkan baca tulis Alquran, mengaji dan tilawah kepada para sahabat tuli yang ada di lokasi pengabdian mereka," pungkasnya. (cl/hdi)
Sumber: Jawa Pos Radar Jember,22 Juni 2016
disalin oleh :(JSR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar