Mother School Sudah,Kapan Father School?
Pendidikan anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya menjadi buruh migran kerap diabaikan.Keberadaan mereka tidak terdeteksi di berbagai dokumen pemerintah.Saatnya komunitas dan lingkungan sekitar menjadi orang tua mereka.HARI SETIAWAN,Jember
"MBAK",bisa tidak saya sekolah tinggi,tetapi ibu tetap di sini?"pertanyaan itu terlontar spontan dari lisan putri(bukan nama sebenarnya),anak seorang mantan buruh migran di Ledokombo,kepada Retno Wahyuningtyas,relawan Sanggar Bermain Tanoker,Kecamatan Ledokombo,Jember.Beberapa waktu terakhir Putri galau.Gadis berusia 10 tahun itu mendengar bahwa sang ibu akan berangkat menjadi TKW.(tenaga kerja wanita)di Malaysia,setelah sebelumnya sempat menjadi TKW di Arab Saudi.Sang Ibu ingin mengumpulkan banyak uang agar bisa membiayai Putri sekolah setinggi mungkin.Sedangkan sang ayah kini tidak ada di sampingnya karena menjadi buruh di Kalimantan.Anak-anak yang"Kehilangan"orang tua karena bekerja menjadi buruh migran di Ledokombo dan sekitarnya bukan potret yang asing.
Berharap Ada Inisiator Pelopor Gerakan Bersama
Ketidakberdayaan ekonomi membuat banyak orang tua di kecamatan Jember bagian utara itu memilih mengadu nasib ke luar negeri.Merantau ke negeri orang,berharap kehidupan di masa mendatang menjadi lebih baik.Tetapi,belum selesai urusan dapur dan perut,kini bermunculan masalah baru."Saya menyebutnya sekarang banyak anak yang menjadi yatim piatu sosial,"ungkap Farha Ciciek,salah seorang pendiri Tanoker,yang selama ini banyak mendampingi pendidikan dan pembinaan anak-anak buruh migran di ledokombo.Keberangkatan para orang tua menjadi buruh migran menyebabkan sang anak harus dititipkan kepada kakek atau nenek,dan paman atau bibi,serta kerabat yang lain.Namun,masalah tidak selesai disitu.Berpisahnya suami istri karena salah seorang atau keduanya menjadi buruh migran,menyebabkan banyak biduk rumah tangga yang kandas di tengah jalan."Perceraian di kalangan buruh migran tinggi,"tegas Suporahardjo,pendiri lain Tanoker,yang tidak lain suami dari Farha ciciek.Bukan sekedar perceraian,tetapi fenomena kawin cerai berkali-kali juga mulai menyeruak,Sebab,pria yang biasa disapa Supo itu mengaku pernah menemukan seorang perempuan menikah dan bercerai hingga empat kali sejak menjadi buruh migran.Sudah bukan hal asing keluarga inti buruh migran hancur setelah salah seorang atau keduanya merantau ke luar negeri.Kondisi tersebut diperparah dengan ikatatan keluarga besar(extended family)yang terus memudar.Demikian pula kehidupan bertetangga yamg cenderung makin individualis,membuat kehidupan anak-anak buruh migran makin terpinggirkan.Bila pengasuhan yang dilakukan kakek nenek,atau kerabat yang lain kurang,banyak pula anak buruh migran yang akhirnya terlibat dalam tindakan buruk lainnya,seperti mabuk-mabukan,mengonsumsi narkoba,atau terlibat pergaulan bebas.Karena itu,Ciciek menyebut nasib anak-anak buruh migran ini lebih terpuruk dari pada anak yatim piatu karena ditinggal mati oleh orang tuanya."Kalau anak yatim piatu banyak yayasan yang menampung dan membina.Tetapi,kalau anak-anak buruh migran ini siapa yang mau peduli?Mereka tahu ayah ibunya masih ada,tetapi kenyataannnya mereka tidak menemukan keduanya di sisinya.itu jauh lebih menyakitkan,"tegasnya.Ketiadaan orang tua kandung di sisinya,atau hanya ada ayah atau ibu di sampingnya,membuat tumbuh kembang anak buruh migran sedikit berbeda dengan anak-anak yang hidup bersama orang tuanya."Mereka cenderung caper atau cari perhatian saat berkumpul dengan temannya,"aku Supo.Retno yang intensif membina anak-anak di Tanoker mengakui,anak-anak buruh migran cenderung memiliki kepribadian yang intervort(tertutup)dan memiliki kepercayaan diri yang kurang."Mereka cenderung pendiam,tidak berani mengemukakan pendapat.Atau,kalau tidak ya terlihat nakal,"ungkap gadis berjilbab ini.Untuk mengatasi pendidikan para anak tersebut,Supo dan Ciciek menyebut bahwa semua pihak harus bersama-sama mengokohkan kembali peran keluarga dalam membidik anak.Bagi anak yang hanya ditinggal ayah atau ibu menjadi buruh migran,maka salah satu orang tua yang masih mendampingi sang anak harus ditumbuhkan kesadarannya untuk mendidik anaknya dengan lebih baik.atau,keluarga yang"dititipi"sang anak juga bisa memainkan peran sebagai orang tua yang baik.Karena itu,Tanoker bersama pusat kegiatan Belajar Masyarakat(PKBM)Madani dan Women Without Border/Save,Austria,Februari lalu,melaksanakan kegiatan bernama Mother School.Targetnya,kaum ibu bisa menjadi orang tua yang sensetif,efektif,dan inspiratif dalam membidik anak-anak agar sang anak tidak terpengaruh hal-hal buruk."Di Mother School ini ada kurikulumnya,dan di bagian akhirnya ada wisuda pula,"ungkap Ciciek.Dalam perjalanannya,Mother School memberi inspirasi Ciciek dan masyarakat setempat untuk membuat kegiatan serupa dengan sasaran para ayah."Kalau mother School sudah,kapan ada father school?"tanya Suwondo,salah seorang pria yang mengasuh anak-anaknya seorang diri karena ditinggal sang istri menjadi buruh migran.Ciciek menyebut pertanyaan Suwondo itu benar.Fakta di lapangan,tidak sedikit para ayah menjadi single parent bagi anak-anaknya karena sang ibu menjadi buruh migran."Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus bukan urusan mudah buat para ayah,"aku Ciciek.Bagi Supo dan Ciciek,mother school yang sudah berjalan sejak be berapa bulan lalu itu hanya sebagai batu loncatan.Sebab yang paling penting adalah bagaimana ada gerakan bersama untuk membuat community parenting bagi anak-anak buruh migran.Dalam community parenting.Semua pihak di lingkungan terdekat anak bisa berperan sebagai orang tua.Semangatnya dalah menumbuhkan kesadaran semua pihak bahwa anak-anak yang di tinggal orang tuanya menjadi buruh migran harus diasuh bersama-sama."Tidak bisa tidak,semua harus terlibat.Mulai dari extended family,guru,sekolah,sanggar,pemerintah desa,dan lain-lain harus bahu-membahu,"terang Ciciek.Yang paling prioritas menjadi sasaran tersebut adalah salah seorang tua anak,atau kerabat terdekat,seperti paman,bibi,sepupu,dan sebagainya."Mereka ini yang paling dekat dengan sang anak.Peran keluarga harus dikokohkan untuk memastikan tumbuh kembang dan pendidikan anak-anak itu berjalan baik,"cetusnya.Ciciek berharap,ada inisiator yang bisa menjadi pelopor gerakan bernama tersebut."Yang paling memungkinkan menjadi inisiator ya ormas,seperti NU dan Muhammadiyah.Mereka memiliki tokoh yang dekat dengan masyarakat dan bisa mempelopori community parenting ini,"pungkasnya.
Disebuah rumah panggung di belakang rumahnya,Supo dan Ciciek bersama para relawan Tanoker berharap,kelak ada dokter,teknokrat,hingga kepala daerah yang berasal dari keluarga buruh migran.(hdi)
Sumber:Jawa Pos Radar Jember 28 Juni 2016
Ditulis kembali oleh: AF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar